Let's Talk About Jealousy

"Aku juga selalu bilang kepada diri sendiri untuk berdamai karena kita diberi jasad dan ruh untuk berteman. Bukan untuk dimusuhi. Bahkan bukan untuk dibego-begoin ketika sedang terpuruk. Bukan untuk dijelek-jelekin ketika kita melihat ada orang yang jauh lebih cakep dari kita.
Diri kita ini ada untuk disayang, dirawat, dijaga, diberi ilmu dan ditinggikan derajatnya. Bukan untuk dipecut dan disiksa oleh diri kita sendiri." 
Rentang Kisah by Gitasav

Setelah baca ini perlahan aku jadi sadar, kalo aku ini masih banyaaak banget nggak bersyukurnya. Kadang, atau bahkan masih sering, aku masih suka diam-diam mengeluh kenapa aku nggak terlahir lebih cakep, lebih pintar, lebih kurus, lebih putih atau bahkan terlahir dikeluarga seperti keluarga si anu. Mungkin yang terakhir agak lebay ya, tapi untuk keluhan-keluhan yang pertama masih cukup sering terjadi sehari-hari. 
Apalagi dengan Instagram sebagai salah satu media sosial yang paling sering aku pelototin.
Aku tau, Instagram itu racun.
Instagram, and the other kind of social medias afterall, are the cruelest places.
Tanpa sadar kita jadi orang-orang yang nyinyir, orang-orang yang nggak bersyukur yang selalu ngerasa kenapa hidup si itu terlihat lebih bahagia dibanding hidup kita. Belum lagi kebiasaan orang-orang yang suka kepo dan nyinyur kehidupan orang di Instagram yang jelas-jelas nggak ada faedahnya, dan malahan menjadi sesuatu yang sudah wajar dengan munculnya akun-akun gosip yang katanya lebih terjamin akurasinya daripada acara-acara gosip di tv.

Instagram is a really scary place.

Berkali-kali aku berusaha untuk ngurangin atau bahkan sampai menghapus aplikasi Instagram karena merasa ketenangan hidup ini udah terkontaminasi dengan Instagram. Tapi tetep aja, Instagram-detox itu paling cuma bertahan maksimal dua minggu, setelah itu download lagi dan tau-tau dua jam habis cuma buat scrolling tanpa tujuan which is sangat nggak berfaedah.

Padahal, pada dasarnya kita semua tau kalo setiap manusia punya kurang dan lebihnya masing-masing. 
"Everyone has their own flaw and that what makes us human."
Tapi lagi-lagi aku, kita semua, larut dalam 'kenapa sih hidup dia enak banget, kenapa aku nggak kaya dia'. Dan hal ini kalo nggak cepat-cepat kita buang jauh dari diri kita, it will consume us. It really will consume us with no mercy. Jealousy is one of the worst heart disease human can ever have. And there's nobody to blame except our own selves. 

No, you cant blame people for being rich. Or being pretty. Or being skinny. Or being funny on Instagram. Or Youtube. Or Facebook. You cant blame them for showing it off to the world. It's their rights to do so. 
And you, your feeling is your responsibility.

Yang kemudian aku nyadar, "Right. I can't control the whole internet. The only thing I can control is myself." The solution is just stay away from it. Salah satu solusinya ya log-out Instagram, delete Instagram, dan hidup seperti di tahun 2000. 
But you cant, it's 2018 and you cant live like there's no internet.
Just don't let it consume you.
I always remind myself, "terserah mau main instagram, mau kepoin siapa, tapi yaudah lihat aja. scroll scroll scroll. oh gitu? yaudah. dia cantik? good for her. dia kaya? good for him. tapi yaudah. ada artis dibully di kolom komentar, nggak usah ikutan. ada selebgram viral dinyinyirin sama netizen, nggak usah ikutan."

Selesai.


The world revolves around the sun.
Gravity keeps you grounded.

You are enough.

No comments :

Post a Comment